Pengertian
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) didefinisikan sebagai “suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya”. Rumusan dalam Pasal 1313 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain.[1]
Lebih lanjut, Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[2]
Syarat Sahnya Perjanjian
Keabsahan perjanjian ditentukan oleh syarat sahnya perjanjian sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Syarat perjanjian dinyatakan sah yang pertama adalah adanya kesepakatan para pihak. Artinya, harus ada persetujuan atau kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian. Dalam hukum, kita menyebut kesepakatan ini sebagai “consensus ad idem,” yang berarti semua pihak sepakat pada hal yang sama. Jika ada pihak yang merasa tertekan atau terpaksa, maka kita dapat menganggap perjanjian tersebut tidak sah.
Hal ini juga telah ditegaskan kembali dalam Pasal 1321 KUHPerdata:
“Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”
Kecakapan para pihak
Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “setiap orang adalah cakap” (bevoegd) untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.[3]
“Kecakapan bertindak” menunjuk kepada kewenangan yang umum, kewenangan umum untuk menutup perjanjian, lebih luas lagi, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya sedangkan “Kewenangan bertindak” menunjuk kepada yang khusus (yaitu) kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang khusus.[4] Ketidakwenangan hanya menghalang-halangi untuk melakukan tindakan hukum tertentu.[5]
Kemudian, Pasal 1330 KUHPerdata telah menentukan siapa saja para pihak yang tidak cakap, yaitu:
- orang-orang yang belum dewasa;
- mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
- orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu.
Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Suatu hal tertentu
Yang dimaksud suatu hal tertentu dalam syarat perjanjian agar dinyatakan sah adalah objek perjanjian yaitu prestasi.
Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Misalnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUHPerdata.
Suatu sebab yang halal
KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai sebab yang halal. Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Akibat Tidak Terpenuhinya Syarat Sahnya Perjanjian
Dari keempat syarat sah perjanjian tersebut, masing-masing terbagi menjadi dua jenis syarat perjanjian, yaitu
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan para pihak disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak dalam perjanjian.
- Suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan), akibatnya perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah.[6]
Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal), akibatnya perjanjian batal demi hukum (null and void). Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.[7]
[1] Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. (Jakarta : RajaGrafindo Perkasa), hlm. 92
[2] Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. XVI (Jakarta: Intermasa, 1996) hlm. 1
[3] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian Buku II, cet. 1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 2.
[4] Ibid. , hlm. 2
[5] Ibid. , hlm. 3
[6] Salim, H.S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 35
[7] Ibid., hlm 35